Dari sabang sampai merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah indonesia
...............................
Potongan lirik lagu tersebut kembali mengingatkan betapa luasnya negeri Indonesia. Tentunya semua itu menyimpan aset bangsa yang begitu banyak. Mulai dari Suku, Agama, Ras, Adat Istiadat (SARA), hingga budaya ataupun kesenian tradisional yang dimiliki oleh masimg-masing daerah. Kini keberagaman disajikan dalam suatu wadah, dan dipertontonkan kepada semua pihak secara terbuka. Bahkan telah dikemas dan dikembangkan, sehingga muncul inovasi baru untuk semua kalangan. Itulah museum. Salah satu wadah untuk memperkenalkan dan melestarikan aset budaya bangsa, yang bersifat artefak dan ada wujudnya.
Sebut saja museum wayang kekayon. Berbeda dengan museum lainnya d Yogyakarta, museum yang terletak di jalan Wonosari km 7 Banguntapan Bantul Yogyakarta ini berhasil menyulap keberagaman menjadi hal yang menakjubkan. Berbekal dari kebiasaan pendirinya, Prof. Dr. KPH Soedjono Pawiro Hadikusumo untuk mengoleksi wayang, museum yang kerap disebut dengan museum kekayon ini telah mempersatukan pluralisme dalam sebuah karya yang memiliki dasar budaya, yaitu wayang.
Tidak hanya wayang domestik, namun juga dari luar negeri. Semua wayang yang terpajang di balik transparannya kaca museum, menyiratkan kisah dan budaya dari masing-masing daerah ataupun negara. Berbagai simbol dan pernak-pernik yang memiliki arti masing-masing tersebut telah mulai nampak dari arti atau lambang museum. Hingga pada bagian-bagian bangunan museum dan koleksinya yang notabene memuat filosofi-filosofi kehidupan.
Sesuai dengan namanya “kekayon” yang berarti lambang kehidupan di dunia, menurut Prof. Dr. KPH Soedjono Prawiro Hadikusumo yang dipaparkan melalui staf pelaksana museum Adi Mulyono, penggambaran keaneka ragaman cerita, perjuangan dan budaya dari berbagai penjuru dunia memang tepat disajikan dalam bentuk wayang. Lebih lanjut beliau menandaskan, selain bentuknya yang menarik, penyajian pluralisme dalam bentuk wayang diartikan sebagai pembelajaran bagi remaja mengenai budaya kontemporer. Hal itu diungkapkan, karena penyajian tersebut merupakan kombinasi budaya tradisional Jawa dengan cerita-cerita dari berbagai penjuru dunia. Pria yang kerap disapa dengan sebutan Mbah Mul ini juga menerangkan berbagai lambang kekayon yang memiliki makna masing-masing. Implikasinya adalah budaya yang beranekaragam. Sehingga patut untuk dinikmati dalam satu paket, yaitu wayang.
Tidak jauh berbeda dengan nama “kekayon” yang memiliki makna pada masing-masing bagiannya. Begitu pula dengan bangunan dan arsitekturnya. Memasuki komplek museum terdapat gedung induk dengan arsitektur Jawa, lengkap dengan kuncung, pendopo, longkang, peringgitan, ndalem dengan sarean tengahnya. Gedung yang kini menjadi kantor Yayasan Kekayon ini sekaligus memberikan fasilitas kepada mereka yang bergerak dalam kesenian wayang, ataupun kegiatan terkait, baik latihan, pagelaran maupun pembuatan adegan yang memerlukan latar belakang bangunan khas Jawa, seperti pembuatan film dan sinetron. Di sekitar gedung induk terdapat taman yang dilengkapi dengan replika-replika bangunan yang menggambarkan pengaruh kebudayaan asing yang pernah hadir di Indonesia, khususnya pulau Jawa.
Replika-replika bangunan tersebut mengisahkan sejarah Indonesia yang digambarkan dalam sebuah taman, dari masa ke masa. Ada 10 kompleks dalam museum tersebut antara lain, kompleks Manusia Purba (mengisahkan kehidupan dua juta tahun yang lalu), kompleks Austronesia (mengisahkan kehidupan 2000 SM), kompleks Singa Borobudur (mengisahkan pengaruh Hindu pada abad ke-1 hingga abad ke-7), kompleks Menara Air Arsitektur Majapahit (abad ke-13 sampai abad ke-14), kompleks Menara Kudus (pengaruh Islam abad ke-16), kompleks pancuran Air Bidadari (pengaruh Belanda abad ke-16), kompleks Gunungan Kartasura (abad ke-18), kompleks Balerana Mangkubumi (abad ke-19), kompleks Patung Jepang (tahun Showa 2602-2605 atau 1942-1945) dan kompleks Patung Proklamasi (17 Agustus 1945).
Untuk lebih melihat keberagaman dan keunikan Museum kekayon, ada 9 unit yang menyajikan itu semua. Tentunya semua dikemas dalam satu bentuk, yaitu wayang. Adapun kesembilan unit tersebut berisikan antara lain, unit 1 menyajikan wayang purwa gaya Yogyakarta, unit 2 menyajikan wayang purwa gaya Surakarta, unit 3 menyajikan wayang Madya dan gedhog, unit 4 menyajikan wayang klithik, krual, dan beber, unit 5 dab 6 menyajikan aneka jenis wayang nusantara, unit 7 menyajikan wayang golek dan kreasi baru, dan unit 9 menyajikan aneka jenis wayang kontemporer.
Penyusunan letak antar unit tentunya tidak sembarangan. Dari unit 1 hingga 9 menyisakan cerita dari waktu ke waktu menurut perkembangannya dan penikmatnya. Terlebih, semakin memijakkan kaki ke unit yang lebih dalam, semakin takjub pula pemandangan yang terpajang dibalik beningnya kaca museum. Bahkan, semua kalangan dapat menikmati dan menghayati keberagaman wayang yang dipertontonkan.
Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan anggapan masyarakat awam, khususnya remaja mengenai wayang. Selama ini, wayang hanya dianggap sebagai kesenian tradisional yang mana penikmatnya datang dari para generasi tua saja. Kondisi itulah yang kontras dengan keadaan dalam museum kekayon. Semua kalangan dapat menikmati, sesuai dengan umur yang memicu keinginannya untuk menyukai suatu hal.
Mulai dari biasa hingga luar biasa. Itulah museum kekayon. Sebuah seruan yang berimplikasi pada generasi tua bisa menganggap wayang biasa saja dan menikmatinya dari cerita yang disajikan dalam abad-abad masa lalu. Sedangkan generasi muda juga dapat menikmatinya dalam bentuk keberagaman yang mengakar pada budaya dan kesenian tradisional, yaitu wayang.
Sebut saja perbintangan (zodiak). Suatu hal yang tidak pernah membosankan bagi remaja. Baik dari aspek asmara, kesehatan, maupun keuangan. Tentunya, hal tersebut disajikan dalam bentuk wayang pula.
Tidak hanya anak muda dan orang tua. Museum kekayon juga dapat menjadi sarana bermain dan edukasi untuk anak-anak. Dalam bentuk wayang pula, mereka dapat bermain dan berimajinasi disini. Hal tersebut terlihat dari koleksi museum berupa cerita imajinatif yang disulap dalam bentuk wayang. Ceritanyapun tidak hanya lokal, melainkan juga didatangkan dari luar negeri. Misalnya Boneka India (Rasastun India), Pinokio (Masionet Austria), Masionet Belanda (Zaandam), Boneka Vietnam, Amerika, dongeng Si Kanal, dan masih banyak lagi.
Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati sajian topeng dan wayang, baik dari nusantara maupun luar negeri. Hal yang dianggap unik adalah, tidak hanya orang normal yang bisa andil dalam museum ini, melainkan anak cacat mental pun dapat andil di dalamnya. Terlihat dalam karya mereka, yaitu dalam wayang daun dan lukisan wayang. Hal itu juga yang muncul dari pemikiran sang pemilik yang notabene adalah seorang dokter jiwa. Seorang pasien yang sembuh dari penyakit jiwanya, mendedikasikan karyanya untuk museum ini.
Namanya keberagaman, pasti tidak lekang dari perbedaan. Dalam museum kekayon, seorang tokoh agama pun dapat ikut menikmati koleksinya. Hal tersebut bisa dibuktikan dari koleksinya yang mengandung beberapa ajaran agama, seperti wayang golek wahyu yang mengandung dakwah agama Nasrani, wayang golek thengul yang mengandung ajaran agama Islam dari pesisir uitara Jawa, wayang sadhat yang mengandung ajaran agama Islam, dan wayang perjanjian yang juga mengandung ajaran agama Nasrani.
Dari gambaran keberagaman yang dikemas dalam bentuk wayang, Mbah Mul menyebutkan tujuan didirikannya museum yang tak lain adalah untuk melestarikan kebudayaan Jawa, terutama wayang. Hal tersebut diungkapnya, agar generasi muda bisa menghayati keanekaragaman budaya tersebut.
“Tak mau mengenal maka tak sayang’.
Sebuah seruan yang layak menggambarkan kontrasnya tujuan didirikannya museum kekayon dengan kondisi saat ini. Pengaruh budaya asing yang melahirkan era globalisasi, kini menciptakan generasi muda yang buta akan budaya. Dalam hal ini, museum kekayon merupakan salah satu wadah representatif mengenai keberagaman yang mengakar pada budaya yaitu wayang.
Namun, generasi muda memiliki definisi lain mengenai museum. Senut saja Dea Loveissa Chintiya, siswa SMA N 1 Bambanglipuro yang menganggap bahwa museum adalah tempat untuk menyimpan benda bersejarah yang hampir usang, layaknya gudang. Oleh karena itu, Dea menganggap bahwa tidak penting untuk mengunjungi museum yang tidak memiliki daya tarik. Menurutnya, lebih baik menyibukkan dengan nongkrong dan nonton dengan teman sebaya.
Hal senada juga diungkap oleh Bagus Kurnianto, siswa SMA N 1 Sewon. Film maker muda ini menandaskan bahwa dengan film kita bisa berbicara dengan bahasa sendiri, dan melihat dunia dari mata orang lain, bukan sekedar melihat benda mati jika berkunjung ke museum.
Tidak jauh berbeda dengan Bagus Budi Kustowo, seorang mahasiswa UNY juga memaparkan bahwa dalam museum kita akan merasa bosan karena objek mata hanya terpusat pada benda yang semotif saja. Budi berharap, bahwa harus ada sesuatu yang istimewa supaya wisatawan selalu ingin berkunjung ke museum.
“Banyaknya remaja yang tidak acuh terhadap museum dan menganggapnya sebagai gudang, karena kurangnya display dari museum maupun dinas terkait”, tutur Hairus Salim HS, seorang anggota majalah GONG Yogyakarta.
Pria yang notabene adalah seorang pengamat museum dan beberapa kali berkunjung ke beberapa museum di luar negeri ini memaparkan tentang tragisnya nasib museum di mata kaum muda. Menurutnya, hal itu tidak mutlak datang dari remaja yang selalu haus dengan hal baru, melainkan juga bisa datang dari faktor museum itu sendiri.
Anggapan remaja bahwa museum sama halnya dengan gudang bisa dibenarkan, lantaran program museum yang kurang efisien.
Di India ada sebuah museum yang mengemas keberagaman di India layaknya museum wayang. Uniknya disana selalu dipadati pengunjung. Hal itu bisa terjadi karena program yang selalu baru disajikan. Salah satunya adalah pemutaran film dokumenter tentang keberagaman di India. Hal itu merupakan salah satu pemicu padatnya pengunjung di museum.
“Diharapkan pengunjung akan mendapatkan gambaran ataupun bayangan dari pemutaran film tersebut”, tandasnya.
Menurutnya museum di Indonesia belum memiliki benda “hidup”, sehingga pengunjung merasa jenuh dan tidak akan mengunjungi museum lagi.
Beliau berharap, ditahun kunjungan museum ini, pihak museum bisa meningkatakan sistem kinerjannya. Dibutuhkan sebuah profesionalitas dari pengelola yang berimplikasi pada perubahan pola pikir. Selama ini pengelola museum selalu berfikir bahwa wisatawan, terutama anak muda yang harus mengunjungi museum. Namun beliau berharap bahwa museum juga harus melakukan “kampanye’ ke sekolah-sekolah dan menciptakan persuasif pada para remaja. Menurutnya itulah tindakan konkret dari pada memperingati tahun ajaran museum hanya dengan memasang slogan ditepi-tepi jalan.
Itulah sekelumit gambaran museum dibalik ketidak acuan remaja. Bagaimana nasib museum selanjutnya? Dan apakah remaja bisa terpikat dengan koleksi yang ada dalam museum? Semua tergantung dari diri masing-masing. Kapan kita akan bertindak !
PESONA KEBERAGAMAN di BALIK TRAGISNYA ASET BUDAYA
03.04 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar